Senin, 22 September 2014

PERAN RIMBAWAN DALAM PENGELOLAAN DAS
DAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN YANG BERKELANJUTAN 
Sukardi, S.Hut
Perspektif Rimbawan
Secara harafiah Rimbawan berasal dari kata “Rimba” yang berarti “hutan” adalah kata  adjectiva (tempat) yang diberikan imbuhan wan. Penambahan kata wan dalam kata dalam suatu kata adjectiva mengacu pada orang yang ahli dalam bidang tertentu, orang yang mata pencaharian atau pekerjaannya dalam bidang tertentu atau orang yang memiliki barang atau sifat khusus. Dengan demikian Rimbawan dapat diartikan sebagai orang yang ahli dibidang kehutanan atau orang yang bekerja dibidang kehutanan atau orang-orang yang berkecimpung dan memiliki kepedulian terhadap hutan dan kehutanan.
Kapan kata rimbawan digunakan belum diketahui secara pasti, namum jika ditelusuri kata rimbawan muncul sebagai persamaan kata dari bahasa inggris “Forester” yang seharusnya sudah ada sejak manusia itu ada. Di Indonesia sendiri gaung rimbawan sudah ada sejak tahun 60-an. Saat itu para rimbawan Indonesia mencetuskan “Deklarasi Kaliurang” yang menjadi cikal bakal landasan idiil rimbawan Indonesia. Namun demikian eksistensi rimbawan indonesia baru terakomodasi semenjak di tetapkannya Departemen Kehutanan sebagai salah satu kementerian di Kabinet PELITA IV pada tanggal 16 Maret 1983. Tanggal tersebut kemudian dijadikan momen dalam memperingati hari bhakti rimbawan.
Baik buruknya kondisi hutan sampai saat ini tentunya tidak terlepas dari keberadaan rimbawan dalam mengelola hutan. Bahkan kegagalan pengelolaan hutan Indonesia oleh para rimbawan sempat dilontarkan oleh Prof. Hasanu Simon dalam pidato purna tugasnya pada tahun 2010. Menurut Prof. Hasanu Simon kerusakan hutan basah di luar jawa lebih dari 100 juta hektar hanya dalam waktu 25 tahun sementara VOC menghancurkan 600.000 hektar hutan alam jati di jawa selama150 tahun atau Romawi yang menghancurkan hutan alam di Eropa selama 1000 tahun, dan Babylonia yang membutuhkan waktu 3000 tahun untuk merusak hutan alam Mesopotamia.
Pendapat tersebut tentunya tidak terbantahkan karena menjadi fakta dalam sejarah pengelolaan hutan Indonesia dan dunia melalui penyataan seorang begawan kehutanan Indonesia. Perbedaan waktu, kondisi, metode dan tujuan dalam pengelolaannya mungkin masih dapat diperdebatkan, namun dampak kerusakan hutan seperti banjir, tanah longsor, kekeringan dan lain-lain seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi para rimbawan dalam mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan.
Pengelolaan DAS
Pada hakekatnya Pengelolaan DAS merupakan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam berbasis ekosistem DAS untuk kesejahteraan manusia dan kelestarian ekosistem DAS itu sendiri. Kegiatan pengelolaan DAS tersebut menimbulkan dampak baik positif maupun negatif yang diantaranya dapat dilihat melalui indikator aliran air di DAS yang bersangkutan. Adanya keterkaitan antar kegiatan pengelolaan sumberdaya DAS dan dampak yang ditimbulkannya memungkinkan untuk mengukur keberlanjutan pengelolaan sumberdaya yang dilakukan. Hal ini yang melandasi digunakannya ekosistem DAS sebagai satuan terbaik dalam pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem.
Komponen‐komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari :manusia, hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masing‐masing komponen tersebut memiliki sifat yang khas dan  keberadaannya tidak berdiri‐sendiri, namun berhubungan dengan komponen lainnya  membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal balik antar komponen berjalan dengan baik dan  optimal. Kualitas interaksi antar komponen ekosistem terlihat dari kualitas output ekosistem tersebut. Di dalam DAS kualitas ekosistemnya secara fisik terlihat dari besarnya erosi, aliran permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit, dan produktifitas  lahan.
Dalam mempelajari  DAS sebagai suatu  ekosistem, maka tidak akan terlepas dari  keberadaan  daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 43 (Efendi, 2007). Keteraduan biofisik tersebut menyebabkan daerah aliran sungai harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh menyeluruh yang terdiri dari sumber-sumber air, badan air, sungai, danau dan waduk yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan (Departemen Kehutanan 2001).
Sebagai sebuah ekosistem tentunya ada   kompleksitas didalamnya.  Manusia sebagai   komponen penting dalam suatu DAS harus bisa mengatur aktivitasnya.  Saat ini Melalui berbagai organisasi dan instansi sebagai sarana  bagi             manusia /masyarakat mencapai tujuan diharapkan dapat menyatukan visi sesuai tupoksi masing-masing agar pengelolaan DAS dapat dilaksanakansecara terpadu. Pengelolaan DAS secara terpadu  diharapkan memberikan  harapan bagi perbaikan kondisi-kondisi DAS yang sudah kritis maupun mempertahankan keadaan DAS yang  masih  dalam kondisi bagus.


Pembangunan Kehutanan Yang Berkelanjutan
Sudah bukan rahasia umum lagi bila hutan di negara kita telah mengalami kerusakan yang sangat parah.  Saat ini kerusakan hutan di Indonesia tidak hanya terjadi dikawasan hutan produksi,  tetapi telah merambah ke kawasan – kawasan  konservasi  bahkan telah ada yang memasuki zona-zona inti kawasan hutan.  Siapa yang mesti dipersalahkan, nampaknya tidak perlu lagi diperdebatkan karena hanya akan menambah masalah baru karena sadar atau tidak sadar kita adalah bagian dari sistem, dimana baik secara langsung maupun tidak langsung berperan dalam sistem pengelolaan hutan konvensional yang diterapkan selama ini.
Sebagaimana diketahui, Sistem Pengelolaan hutan yang selama ini  tidak memperdulikan  upaya-upaya konservasi di dalamnya telah berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistem.  Dari peta tentang keadaan hutan di Indonesia dalam enam dekade terakhir ini menunjukkan bahwa hutan-hutan asli telah mengalami perusakan yang parah sejak era tahun 1980-an. Kerusakan semakin parah ketika Pemerintah Indonesia mulai menerapkan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan memberikan hak tersebut kepada beberapa perusahaan besar yang  kemudian memegang monopoli pengusahaan hutan. Dalam prakteknya ternayata  sistem ini tidak banyak memberi manfaat kepada masyarakat yang tinggal disekitar hutan tetapi lebih banyak merugikan.
Menyadari  hal tersebut maka dianggap perlu merubah paradigma pengelolaan hutan dengan mengedepankan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan.  Hal ini disebabkan posisi masyarakat selama ini termarjinalkan dalam pengelolaan hutan itu sendiri, sementara merekalah yang secara langsung berhubungan dengan hutan.  Tingkat ketergantungan yang sangat tinggi menjadikan mereka semakin miskin ketika secara kualitas maupun kuantitas hutan di sekitar tempat mereka bermukim berkurang drastis.

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam mengelola hutan disekitar mereka dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem di dalamnya. Pemanfaatan hasil kayu secara tidak berlebihan dengan memanfaatkan potensi hasil hutan non kayu dan jasa lingkungannya akan menjadikan kondisi hutan tetap lestari dan masyarakat disekitarnya dapat menikmati kesejahteraan sehingga pembangunan kehutanan secara berkelanjutan dapat terwujud.
Peran Rimbawan
Rimbawan sebagai bagian dari elemen masyarakat dalam suatu DAS tentunya memiliki peran penting dalam pengelolaan DAS. Rimbawan dengan ilmu yang dimilikinya dapat menjadi pelopor pengelolaan DAS di Indonesia karena memiliki pengalaman panjang dalam bidang kehutanan yang berpengaruh besar terhadap keberadaan suatu ekosistem DAS. Para rimbawan diharapkan mampu mengkoordinasi berbagai elemen dalam suatu ekosistem DAS terutama koordinasi antar instansi yang masih menjadi permasalahan “pelik” sampai saat ini karena tingginya ego sektoral masing-masing instansi. Demikian juga dengan kiprah masyarakat yang berada dalam ekosistem DAS dapat dipandu untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan DAS.
Pengelolaan hutan lestari oleh para rimbawan tentunya berdampak positif terhadap kondisi DAS yang lebih baik di masa datang. Keterkaitan pengelolaan hutan dengan pengelolaan DAS akan tercermin pada indicator DAS berupa dampak suplay air dalam suatu DAS. Kondisi hutan yang terjaga baik akan membuat suplai air dalam sungai lebih terjaga dengan indicator sungai tidak kering pada musim kemarau dan tidak kebanjiran pada musim hujan serta keadaan air layak untuk komsumsi rumah tangga.
Para rimbawan saat ini juga harus terus berkembang secara keilmuan dan mengikuti perkembangan teknologi. Seorang rimbawan sudah harus membuka diri terhadap berbagai ilmu lainnya karena perkembangan dunia kehutanan dan lingkungan terkait erat dengan ilmu lainnya. Ilmu-ilmu seperti hukum, ekonomi, sosiologi serta berbagai ilmu terapan lainnya harus diketahui oleh para rimbawan karena perkembangan dunia kehutanan saat ini dan kedepan tidak hanya bagaimana menghitung nilai kayu dalam suatu areal hutan tapi dampak hukum, ekonomi, social budaya dan lainnya akan senantiasa menyertai. Oleh karena itu peran seorang rimbawan tidak boleh tertinggal oleh perkembangan zaman. Seorang rimbawan harus selalu bisa menaklukkan zaman dengan segala konseksuensinya.

Jumat, 20 Maret 2009

JIWA KORSA DISANDING HARAPAN. REFLEKSI HARI BHAKTI RIMBAWAN

Hai Perwira Rimba Raya Mari Kita Berseru

Memuji hutan rimba dengan lagu yang gembira

Dan nyanyian yang murni

………………

Rimba raya rimba raya

Indah permai dan mulia

Maha taman tempat kita bekerja

…………………

Potongan  bait lagu seruan rimba diatas menyiratkan banyak hal tentang kebersamaan.  Kata “ Kita” dan “Rimba” hadir ditiap bait untuk menegaskan pentingnya kerjasama bagi para rimbawan dalam mengelola/ memanfaatkan hutan secara bijaksana sehingga membawa kemaslahatan bagi banyak orang. Kebersamaan berarti adanya kesatuan visi dalam melakukan suatu tindakan apapun hasilnya akan menjadi resiko bersama. Susah senang akan ditanggung bersama sehingga segalanya akan terasa lebih ringan.

Demikian deskripsi singkat tentang kebersamaan yang telah pudar dan mungkin hilang dalam jiwa-jiwa para rimbawan masa kini. Jika  mendengar penuturan para “pendahulu” akan kebersamaan mereka dulu seolah-olah “Jiwa Korsa” (istilah kebersamaan mereka) seperti dongeng bagi rimbawan-rimbawan muda saat ini. Jiwa korsa tentunya tidak diajarkan di dalam ruang kelas ataupun ruang kuliah sehingga banyak rimbawan muda masa kini tidak mengerti dan hanya  sekedar mengetahui  sambil lalu apa itu jiwa korsa.

Sungguh naif memang, tapi itulah kenyataan saat ini.  Rimbawan  muda kurang merasakan jiwa korsa yang  telah diputuskan oleh situasi dan kondisi keterpurukan bangsa ini. Dampak keterpurukan juga berimbas pada perilaku sebagian rimbawan yang cenderung individualis dengan melihat pekerjaan sebagai batu loncatan untuk berbuat sesuatu demi kepentingan diri sendiri. Padahal saat inilah peran seorang rimbawan benar-benar dibutuhkan negara menghadapi berbagai masalah yang menyangkut kemashlahatan hidup orang banyak.

Rimbawan dihadapkan pada permasalahan bangsa yang sangat pelik termasuk dampak pengelolaan hutan masa lalu. Tiap bencana yang diakibatkan oleh kerusakan hutan, masyarakat luas selalu menuding orang-orang kehutanan (rimbawan) harus bertanggung jawab.  Hal ini mau tidak mau harus diterima para rimbawan sebagai cambuk untuk berbuat lebih baik dengan memanfaatkan sumber daya yang masih tersisa.

Kompleksnya masalah kehutanan akhir-akhir ini juga menjadi pemicu renggangnya hubungan antar rimbawan. Alih-alih memikirkan pemecahannya, malah mereka tuduh menuduh, salah menyalahkan bahkan saling mencurigai masih sering terjadi antar kalangan yang mengatasnamakan diri sebagai rimbawan. Jiwa korsa yang selama ini jadi perekat tidak lagi punya daya bila persoalannya membawa nama instansi atau organisasi tempat rimbawan bernaung.

 Rimbawan tercerai desentralisasi?

Tidak dapat dipungkiri, pemberlakuan Undang – Undang  No. 22  Tahun  1999 tentang pemerintahan daerah berdampak besar terhadap bercerai-berainya para rimbawan. Desentralisasi pemerintahan sebagai wujud reformasi membuat daerah – daerah memiliki kewenangan besar untuk mengatur kondisi rumah tangga mereka termasuk urusan di bidang kehutanan dan orang – orang yang berkecimpung di dalamnya.

Para rimbawan banyak ditugaskan dibidang yang seharusnya bukan keahliannya, begitupun bidang kehutanan ditangani oleh orang-orang yang tidak punya kapasitas menanganinya. Bahkan demi perampingan dan efektifitas kerja, suatu daerah menggabungkan secara acak bidang kehutanan dengan bidang lain dalam satu instansi.

Kondisi ini membuat para rimbawan terkotak-kotak dalam instansi berbeda antara pusat dan daerah. Bahkan antara daerah satu dengan daerah lainnya tidak lagi punya hubungan sama sekali. Para rimbawan yang bekerja di luar pemerintahan setali tiga uang. Dengan visi dan misi masing-masing mereka jalan sendiri-sendiri meyakinkan masyarakat bahwa apa yang mereka lakukan untuk kepentingan masyarakat, sementara kepentingan mereka terselip di dalamnya.

Benarkah terkotak-kotaknya rimbawan dalam suatu instansi/organisasi membuat jiwa korsa hilang? Bukankah sejak dari dulu para rimbawan telah berbeda tempat pengabdian? Jiwa korsa seharusnya tidak bisa dibatasi oleh apapun karena rimbawan telah terikat oleh kode etik rimbawan yang telah dirumuskan dan dideklarasikan bersama di Cangkuang-Sukabumi pada tahun 1999. adapun Kode Etik dimaksud adalah:

1.     Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

2.     Menempatkan hutan alam sebagai bagian dari upaya mewujudkan martabat dan integritas bangsa di tengah bangsa-bangsa lain sepanjang jaman.

3.     Menghargai dan melindungi nilai kemajemukan sumber daya hutan dan sosial budaya setempat.

4.     Bersikap objektif dalam melaksanakan segenap kelestarian fungsi ekonomi, ekologi dan sosial hutan secara seimbang dimanapun dan kapanpun bekerja dan berdarma bakti.

5.     Menguasai, meningkatkan, mengembangkan dan mengamalkan ilmu dan teknologi berwawasan lingkungan dan kemasyrakatan yang berkaitan dan kehutanan.

6.     Menjadi pelopor dalam setiap upaya pendidikan dan penyelamatan lingkungan dimanapun dan kapanpun rimbawan berada.

7.     Berperilaku jujur, bersahaja, terbuka, komunikatif, bertanggunggugat, demokratis, adil, ikhlas dan mampu bekerjasama dengan semua pihak sebagai upaya mengembankan profesi.

8.     Bersikap tegas, teguh dan konsisten dalam melaksanakan segenap bidang gerak yang diembannya, serta memiliki kepekaan, proaktif, tanggap, dinamis dan adaptif, terhadap perubahan lingkungan strategis yang mempengaruhi baik ditingkat lokal, nasional, regional dan global.

9.     Mendahulukan kepentingan tugas rimbawan dan kepentingan umum (public interest) saat ini dan generasi yang akan datang diatas kepentingan-kepentingan lain.

10. Menjunjung tinggi dan memelihara jiwa korsa rimbawan.

 

Kode etik di atas menegaskan, tidak ada masalah dimanapun seorang rimbawan bekerja atau berdarma bakti, yang terpenting bagi seorang rimbawan adalah menjauhkan diri dari sifat mementingkan diri sebagaimana potongan bait lagu seruan rimba berikut:

……Jauhkanlah sifat kamu, yang mementingkan diri….

 

Review tugas rimbawan

Sekedar mengingatkan agar para rimbawan kembali ke khittahnya, bahwa tugas rimbawan yang dicetuskan para pendahulunya sangatlah berat. Sejak tahun 1966 dalam suatu pertemuan bersama di Kaliurang, para rimbawan telah mendeklarasikan landasan idiil tugas mereka terhadap hutan dan kehutanan. Adapun landasan yang dimaksud adalah:

  1. Hutan adalah anugrah Tuhan Yang Maha Esa berupa sumber kekayaan alam yang serbaguna sebagai manifestasi dari sifat maha murah serta maha kasih dari Tuhan Yang Maha Kuasa Sendiri.
  2. Hutan dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tempat, waktu, iklim, keadaan sekelilingnya dan faktor-faktor lainnya. Apapun bentuk yang dimilikinya dan menjadi wujud sementara hutan itu, pada hakekatnya selalu merupakan pengejawantahan sementara dari lima unsur pokok yang mengakibatkan adanya apa yang dinamakan hutan itu, ialah : bumi, air, alam hayati, udara dan sinar matahari. Tanpa salah satu unsur ini secara mutlak mengakibatkan tidak adanya hutan.
  3. Dengan demikian, maka memanfaatkan hutan pada hakekatnya adalah memanfaatkan adanya lima unsur tersebut, ialah mengarahkan panca-daya ini kepada suatu bentuk tertentu pada tempat dan waktu yang diperlukan untuk kesejahteraan dan kebahagian manusia lahir dan batin sebesar-besarnya mungkin tanpa mengabaikan kelestarian guna dan manfaatnya.
  4. Bentuk yang dihasilkan oleh pengarahan panca daya secara sadar ini dapat berwujud hutan lindung alami di gunung yang mutlak perlu untuk ketertiban tata air, dan/atau hutan produksi dengan segala bentuknya antara lain hutan industri dan lain sebagainya. Ke semua ini merupakan sumber kesejahteraan secara lestari bagi manusia kini dan manusia dikemudian hari sebagai pengejawantahan dari sifat Maha Murah dan Maha Kasih Tuhan seru sekalian alam.
  5. Berapa manfaat hutan sebagai anugerah tersebut tidaklah dibatasi oleh keadaan hutan itu sendiri melainkan semata-mata dibatasi oleh kemampuan manusia sampai dimana ia sanggup memanfaatkan anugerah Tuhan tersebut untuk kepentingan dirinya, bagi penyelenggaraan kesejahteraan baik materil maupun sprituil.
  6. Rimbawan menunaikan tugas mengurus hutan dan kehutanan wajib menanggapi tugas tersebut sebagai penerima amanat dari umat manusia untuk memanfaatkan pemberian Tuhan yang berupa hutan ini sebesar-besar mungkin secara lestari sebagai tanda terima kasih dan bakti manusia terhadap Tuhan Yang Maha Murah dan Maha Kasih.
  7. Kenyataan-kenyataan dan pengakuan adanya kenyataan – kenyataan tersebut diatas adalah merupakan landasan abadi bagi penuaian darma bakti Rimbawan, dimana dan pada waktu atau zaman apa Rimbawan itu berada. Rimbawan yang ber Pancasila yang telah mengikrarkan dirinya menjalankan segala tugas untuk kepentingan Nusa dan Bangsanya dengan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.

 (Dikutip dari buku Vadamecum Kehutanan dalam Winarto, B. 2006) 

 

Landasan ini menegaskan bahwa tugas para rimbawan adalah amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa akan dipertanggungjawabkan pada-Nya, maka seorang rimbawan bermoral harus selalu menjadikan landasan ini sebagai pegangan dalam bertindak.

 

Harapan di Hari Bakti Rimbawan

Momentum hari bakti rimbawan yang diperingati setiap tahun seharusnya jadi ajang untuk memperat tali silaturahmi para rimbawan. Jiwa korsa harus dipupuk kembali agar bisa tumbuh lagi dalam tindakan para rimbawan. Saat ini mungkin jiwa korsa masih tertanam di hati, hanya saja jadi keengganan ketika harus dimanifestasikan dalam tindakan.

Tentu saja hari bakti rimbawan saat ini tidak semeriah dulu, saat jiwa korsa masih utuh dalam hati dan  tindakan para rimbawan. Perlu disadari para rimbawan kalau dulu hutan telah memberi banyak secara finansial kepada bangsa dan negara termasuk para rimbawan, sekarang hutan tidak “setangguh” dulu. Hutan butuh perhatian penuh dari para rimbawan karena “sakit” yang harus ditanggungnya. Jangan sampai jiwa korsa dulu tumbuh karena “hutan”  banyak memberi, tapi pada saat hutan harus diberi perhatian jiwa korsa para rimbawan kita di mana?

Kini saatnya para rimbawan membuktikan kalau masa senang pernah dinikmati bersama, maka saat ini masa susah harus dirasakan bersama pula. Ingatlah para Rimbawan, Hutan saat ini membutuhkan pertolongan maka kewajiban kita untuk melakukan segenap upaya dan kerja keras untuk kembali memulihkannya. Hanya dengan kebersamaan semua akan terwujud, oleh karena itu mari kembali tegakkan Jiwa Korsa Rimbawan demi menjaga kelestarian hutan kita!.. Mari sandingkan harapan ini di Hari Bhakti Rimbawan!…

Rabu, 11 Maret 2009

KONSEP PEMBANGUNAN HUTAN DESA,


Sukardi, S.Hut **)

Merubah paradigma pengelolaan hutan.

Sudah bukan rahasia umum lagi bila hutan di negara kita telah mengalami kerusakan yang sangat parah. Saat ini kerusakan hutan di Indonesia tidak hanya terjadi dikawasan hutan produksi, tetapi telah merambah ke kawasan – kawasan konservasi bahkan telah ada yang memasuki zona-zona inti kawasan hutan. Siapa yang mesti dipersalahkan, nampaknya tidak perlu lagi diperdebatkan karena hanya akan menambah masalah baru karena sadar atau tidak sadar kita adalah bagian dari sistem, dimana baik secara langsung maupun tidak langsung berperan dalam sistem pengelolaan hutan konvensional yang diterapkan selama ini.

Sebagaimana diketahui, Sistem Pengelolaan hutan yang selama ini tidak memperdulikan upaya-upaya konservasi di dalamnya telah berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistem. Dari peta tentang keadaan hutan di Indonesia dalam enam dekade terakhir ini menunjukkan bahwa hutan-hutan asli telah mengalami perusakan yang parah sejak era tahun 1980-an. Kerusakan semakin parah ketika Pemerintah Indonesia mulai menerapkan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan memberikan hak tersebut kepada beberapa perusahaan besar yang kemudian memegang monopoli pengusahaan hutan. Dalam prakteknya ternayata sistem ini tidak banyak memberi manfaat kepada masyarakat yang tinggal disekitar hutan tetapi lebih banyak merugikan.



Menyadari hal tersebut maka dianggap perlu merubah paradigma pengelolaan hutan dengan mengedepankan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Hal ini disebabkan posisi masyarakat selama ini termarjinalkan dalam pengelolaan hutan itu sendiri, sementara merekalah yang secara langsung berhubungan dengan hutan. Tingkat ketergantungan yang sangat tinggi menjadikan mereka semakin miskin ketika secara kualitas maupun kuantitas hutan di tempat mereka bermukim berkurang drastis.

Kawasan Hutan, Desa dan Permukiman masyarakat.

Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menyatakan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap. Hal ini menegaskan bahwa suatu kawasan hutan tidak hanya wilayah atau tempat yang memiliki kumpulan pepohonan berupa hutan, tetapi suatu tempat tanpa pohon pun bisa menjadi kawasan hutan apabila ditetapkan oleh pemerintah. Sebagian besar kawasan hutan ini biasanya dikelilingi oleh pemukiman masyarakat dalam suatu wilayah administrasi desa.

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas- batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem (UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

Di suatu kawasan hutan telah berkembang permukiman/desa di dalam dan di sekitar hutan yang perlu ditata agar dapat mensinergikan antara kepentingan pembangunan kehutanan dengan kepentingan pembangunan sektor lainnya. Permukiman/desa hutan tersebut pada umumnya dicirikan oleh tingkat aksessibilitas rendah, tingkat kesejahteraan masyarakat rendah, rawan terhadap gangguan kerusakan hutan, dan rawan sosial seperti pencurian, perkelahian antar permukiman/desa, konflik lahan, dan lain-lain. Kondisi ini menyebabkan pengelolaan permukiman/desa hutan harus terpadu dengan kegiatan pembangunan sektor pedesaan lainnya, dan dilakukan secara efisien serta dapat mengakomodir kepentingan masyarakat permukiman/desa dan kelestarian hutan.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka pembangunan permukiman/desa hutan harus berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut adalah membangun dan mengembangkan Hutan Desa, terutama di kawasan hutan yang menjadi penyangga kawasan konservasi.

Meningkatnya kesejahteraan masyarakat di kawasan hutan penyangga diharapkan akan mengurangi bahkan menekan akses masyarakat untuk memasuki kawasan konservasi. Oleh karena itu konsep pembangunan hutan desa harus diarahkan pada peningkatan kemampuan masyarakat desa mengelola sumberdaya hutan melalui pembangunan dan atau pengembangan kawasan hutan negara dan hutan rakyat yang dikelola oleh masyarakat di suatu desa.

Sasaran Lokasi dan Konsep Pembangunan Hutan Desa

Lokasi pembangunan hutan desa tidak hanya terbatas pada kegiatan pengelolaan areal yang berhutan saja, tetapi juga pada areal yang tidak berhutan yang akan mempengaruhi kelestarian hutan itu sendiri. Oleh karenanya, diversifikasi penggunaan sumberdaya hutan yang ada merupakan tuntutan dasar dalam pembangunan hutan desa.

Beberapa lokasi berikut diharapkan bisa dijadikan acuan bagi pembangunan hutan desa di suatu daerah. Adapun lokasi dimaksud meliputi:

1. Kawasan hutan yang masih bervegetasi dan tidak ada masyarakat yang mengklaim

2. Kawasan hutan yang tidak bervegetasi (kosong) dan tidak ada masyarakat yang mengklaim

3. Kawasan hutan yang diokupasi oleh masyarakat dan dimanfaatkan untuk menanam tanaman perkebunan

4. Kawasan hutan yang diokupasi oleh masyarakat dan dimanfaatkan untuk menanam tanaman semusim secara intensif

5. Kawasan hutan yang diklaim oleh masyarakat secara adat, bervegetasi hutan, dan dimanfaatkan

6. Kawasan hutan yang diklaim oleh masyarakat, tidak bervegetasi dan tidak dimanfaatkan (ditinggalkan oleh orang yang pernah mengelola kawasan hutan tersebut)

7. Di luar kawasan hutan yang merupakan hak milik baik bervegetasi maupun tidak dan disetujui oleh pemiliknya.

Tentunya ke tujuh sasaran lokasi diatas bukan suatu yang mutlak. Pengambil kebijakan harus tetap mempertimbangkan berbagai faktor terutama yang berhubungan dengan sikap, kebiasaan dan budaya serta visi masyarakat setempat dalam mengelola hutan. Hal ini penting, mengingat sebagian besar lokasi adalah kawasan hutan dan visi masyarakat dan visi pembangunan hutan desa harus disamakan sebelum kegiatan dilaksanakan.

Konsep pembangunan hutan desa pada dasarnya difokuskan pada tiga kegiatan utama yaitu: pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan desa, pengelolaan hutan desa, dan pemberdayaan masyarakat. Dasar pengembangan kelembagaan hutan desa adalah selalu mengacu kepada prinsip “partisipatif”. Oleh karenanya harus melibatkan semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan pembangunan hutan desa. Pengelolaan hutan desa harus mencakup tata guna lahan, pengusahaan hutan, reboisasi/rehabilitasi lahan, pemantauan, pengawasan dan pengendalian.

Konsep dan strategi pembangunan hutan desa hanya dapat diimplementasikan apabila pelaku utamanya yaitu masyarakat mengerti, menerima, dan mampu untuk melaksanakannya. Melihat tingkat pendidikan masyarakat di lokasi pembangunan hutan desa relatif masih rendah, maka sejak awal harus dilaksanakan peningkatan kemampuan masyarakat melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan. Kegiatan tersebut pada prinsipnya bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan pengetahuan/kemampuan masyarakat.

Pada akhirnya, suatu konsep hanya akan menjadi wacana apabila tidak diimplementasikan langsung di lapangan. Tulisan ini diharapkan bisa menggugah para pengambil kebijakan agar bisa memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar hutan terutama di kawasan penyangga konservasi untuk mengelola hutan disekitarnya tanpa adanya rasa takut karena telah diidentikkan sebagai ”perusak hutan”. Mudah-mudahan perubahan paradigma pengelolaan hutan bisa memberi secercah harapan bagi masyarakat sekitar hutan tentunya dengan jaminan kelestarian hutan secara berkesinambungan.

Senin, 16 Februari 2009

PENTINGNYA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

PENTINGNYA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Sukardi*

(Pengendali Ekosistem Hutan di BPDAS Wampu Sei Ular)

Pendahuluan

Pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) saat ini memerlukan perhatian khusus. Perhatian ini tentunya diarahkan pada perubahan paradigma pengelolaan yang lebih menyeluruh dengan memperhatikan semua aspek di dalamnya karena tidak dapat dipungkiri pengelolaan sumber daya alam selama ini telah mengabaikan kaidah-kaidah konservasi dan memarginalkan masyarakat yang berada disekitarnya. Berbagai permasalahan pun muncul sebagai akibat kerusakan sumber daya alam tersebut.

Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumber daya alam adalah menciptakan untuk selanjutnya mempertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan keberlanjutan pemanfaatan dan keberadaan sumber daya alam. Jadi hal ini tidak terlepas dari keberlanjutan keberadaan dan layanan bagi kehidupan manusia. Keberlanjutan pemanfaatan dan pencagaran sumber daya alam didefenisikan sebagai suatu proses perubahan di mana kesinambungan pemanfaatan dan pencagaran sumber daya alam, arah investasi pemanfaatan sumber daya alam dan perubahan kelembagaan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam tersebut konsisten dengan sasaran saat ini dan di masa datang (Asdak dalam WCEO, 2004). Pengelolaan Daerah aliran Sungai (DAS) diharapkan dapat memberikan kerangka kerja kearah tercapainya pembangunan yang berkelanjutan.

Pengelolaan DAS sendiri merupakan merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui yaitu tumbuhan, tanah dan air agar dapat memberikan manfaat maksimal dan berkesinambungan. Pengelolaan DAS merupakan upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbale balik antara sumber daya alam dan manusia dengan segala aktifitasnya di dalam DAS. Tujuan pengelolaan DAS adalah untuk membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (RLPS, 2002)

Untuk tercapainya pembangunan DAS yang berkelanjutan kegiatan pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan harus diselaraskan. Dalam hal ini diperlukan penyatuan kedua sisi pandang tersebut secara realistis melalui penyesuaian kegiatan pengelolaan DAS dan konservasi daerah hulu ke dalam kenyataan-kenyataan ekonomi dan social. Inilah tantangan formulasi kebijakan yang harus dituntaskan apabila tujuan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan ingin di wujudkan.

Agar suatu kebijakan bisa diformulasikan dengan baik diperlukan suatu lembaga yang kuat sebagai leader dan fasilitator bagi lembaga lain yang dianggap berkepentingan. Hal ini penting mengingat wilayah DAS sebagaian besar tidak dibatasi oleh batas-batas administrasi ( antar kabupaten,antar propinsi), sehingga diperlukan keterpaduan antar instansi yang dibatasi wilayah administrasi tersebut. Dengan demikian kehadiran lembaga seperti BP DAS sebagai perwkilan pusat di daearah diharapkan bisa menjembatani kepentingan – kepentingan tersebut dengan menyusun rencana pengelolaan DAS dan dapat menyajikannya dalam bentuk informasi DAS.

Ruang Lingkup, Prinsip Dasar dan Sasaran Pengelolaan DAS

Untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS, maka ruang lingkup DAS harus meliputi:

  1. Pengelolaan lahan melalui usaha konservasi tanah dalam arti luas
  2. Pengelolaan air melalui pengembangan sumber daya air
  3. Pengelolaan vegetasi khususnya pengelolaan hutan yang memiliki fungsi perlindungan terhadap tanah dan air
  4. Pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia dalam penggunaan sumber daya alam secara bijaksana, sehingga berperan serta pada upaya pengelolaan DAS

Dengan pengelolaan DAS yang benar diharapkan tercapainya kondisi hidrologi yang optimal, meningkatkan produktifitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat, terbentuknya kelembagaan masyarakat yang tangguh dan muncul dari bawah sesuai dengan kondisi social budaya setempat serta terwujudnya pembangunan yang berkelnajutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan.

Beberapa prinsip dasar dalam pengelolaan DAS adalah:

  1. Pengelolaan DAS meliputi pemanfaatan, pemberdayaan, pengembangan, perlindungan dan pengendalian sumber daya DAS.
  2. Pengelolaan DAS berlandaskan pada aasa keterpaduan, kelestarian pemanfaatan, keadilan, kemandirian serta akuntabilitas
  3. Pengelolaan DAS diselenggarakan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
  4. Pengelolaan DAS dilakukan melalui pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip satu sungai, satu perencanaan, satu pengelolaan dengan memperhatikan system pemerintahan yang desentralistik sesuai dengan jiwa otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Prinsip dasar pengelolaan DAS tersebut di atas diimplementasikan dalam pengelolaan yang:

  1. Dilaksanakan secara holistic, terencana dan berkelanjutan
  2. Dilaksanakan secara desentralisasi dengan pendekatan DAS sebagai unit pengelolaan
  3. Dilaksanakan berdasarkan prinsip partisipasi dan konsultasi masyarakat untuk memperoleh komitmen bersama
  4. Mendorong partisipasi masyarakat guna secara bertahap mengurangi beban pemerintah dalam pengelolaan DAS.

Berdasarkan ruang lingkup dan prinsip dasar diatas, maka secara umum ada tiga sasaran yang ingin dicapai dalam pengelolaan DAS. Pertama, adalah rehabilitasi lahan terlantar atau lahan yang masih produktif tetapi di digarap dengan cara yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air. Sasaran kedua adalah perlindungan terhadap lahan-lahan yang umumnya sensitive terhadap terjadinya erosi dan atau tanah longsor atau lahan-lahan yang diperkirakan memerlukan tindakan rehabilitasi dikemudian hari. Sasaran ketiga adalah peningkatan atau pengembangan sumber daya air. Hal yang terakhir ini dicapai dengan cara pengaturan satu atau lebih komponen penyususn ekosistem DAS yang diharapkan mempunyai pengaruh terhadap proses- proses hidrolgi atau kualitas air.

Ketiga sasaran tersebut hanyalah alat yang digunakan untuk tujuan pengelolaan DAS yaitu:

1. meningkatkan stabilitas tata air

2. meningkatkan stabilitas tanah

3. meningkatkan pendapatan petani

4. meningkatkan perilaku masyarakat kearah kegiatan konservasi.

Perencanaan Pengelolaan DAS

Perencanaan Pengelolaan DAS yang baik dilakukan dengan cara pendekatan secara menyeluruh. Pendekatan ini dilakukan sebagai bahan pertimbangan terhadap terganggunya salah satu komponen pada sistem alam yang dapat berpengaruh pada komponen lain dari sistem tersebut. Pendekatan menyeluruh ini pada hakekatnya suatu kajian terpadu terhadap semua aspek sumber daya dalam suatu DAS dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan, social, politik dan ekonomi. Ekosistem DAS dapat dimanfaatkan dalam melakukan suatu perencanaan dan pengendalian pengelolaan DAS sebagai suatu unit perencanaan dan evaluasi yang sistematis, logis dan rasional, sehingga para stakeholder bisa memanfaatkannya secara multiguna.

Prinsip yang berlaku umum mensyaratkan bahwa perencanaan yang disiapkan secara sistematis, logis dan rasional seharusnya mengarah pada bentuk pengelolaan yang bijaksana dan implementasi yang efektif. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa proses perencanaan dan implementasi program akan berlangsung dengan efektif apabila disertai pedoman kerja yang berisi prinsip-prinsip perencanaan sebagai berikut:

  1. Tujuan atau sasaran utama pengelolaan DAS secara menyeluruh harus dirumuskan secara jelas dengan disertai mekanisme system monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara periodic. Dengan demikian, apabila ditemukan adanya dampak lingkungan yang cukup serius dapat segera ditangani. Seluruh usulan kegiatan dan hasil yang diperoleh harus berorientasi pada kepentingan jangka panjang dan capaian kesejahteraan yang berkelanjutan.
  2. Perlu disiapkan mekanisme administrasi yang efisien dengan focus perhatian pada aspek-aspek social-ekonomi-politik dan kerjasama yang harmonis di antara lembaga-lembaga (pemerintah dan non pemerintah) yang terlibat dalam pengelolaan DAS
  3. Pengelolaan menyeluruh DAS diarahkan pada penyelesaian konflik yang muncul di antara stakeholders dalam melaksanakan pembangunan. Pada kasus ketika terjadi konflik harus dihormati dan dilaksnakan dengan konsisten. Selain masalah penyelesaian konflik, pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS juga mempertimbangkan prinsip-prinsip upaya pengendalian dan proses umpan balik yang mengarah pada proses pengambilan keputusan optimal.

Namun demikian, dalam merencanakan suatu pengelolaan DAS harus tetap memperhatikan karakteristik dari DAS bersangkutan. Hal ini disebabkan setiap DAS mempunyai karakteristik masing-masing yang mempengaruhi proses pengaliran air didalamnya sampai keluar di muara dan masuk ke laut atau danau. Karakteristik DAS ini ditentukan oleh factor lahan (topografi,tanah,geologi,geomorphologi) dan factor vegetasi, tata guna lahan dan factor social masyarakat sekitarnya . Tiap daerah memiliki karakteristik DAS yang berbeda sehingga suatu kebijakan dalam suatu wilayah pengelolaan DAS bisa berbeda dengan wilayah pengelolaan DAS lainnya. Dan tidak kalah pentingnya masukan dan informasi masyarakat pada tingkat local dalam proses penyusunan rencana sangat diharapkan bagi lahirnya kebijakan pengelolaan DAS

Kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan manusia yang dibuat dan dilaksanakan dalam skala DAS seringkali mengalami kemacetan atau terlaksana dengan hasil yang tidak optimal serta tidak sesuai dengan yang telah direncanakan. Hal ini seringkali berkaitan dengan kurangnya pemahaman pada perencana pengelola DAS terhadap mekanisme dan proses-proses yang berlangsung dalam ekosistem termasuk elemen manusia dengan segala kecenderungannya.

Ada kekeliruan anggapan bahwa pengelolaan DAS hanya didasarkan pada keterkaitan fisik semata. Pada kenyataannya, rencana pengelolaan DAS yang benar mengharuskan adanya keterkaitan antar unsur social/ekonomi/budaya dengan unsur-unsur yang berkaitan dengan ekosistem dan teknologi lainnya yang telibat dalam pengelolaan. Oleh karenanya, perencanaan pengelolaan DAS seharusnya dikerjakan oleh suatu tim yang terdiri atas berbagai bidang ilmu yang ada kaitannya dengan aspek sumber daya termasuk sumber daya manusia.

Pada dasarnya pengelolaan DAS adalah rasionalisasi alokasi sumber daya alam dan manusia termasuk pencagaran sumber daya yang dikelola sehingga selain dapat diperoleh manfaat yang optimal juga dapat dijamin keberlanjutannya. Oleh karena itu, para perencana pengelolaan DAS diharapkan mempunyai pemahaman yang cukup tentang mekanisme dan proses-proses keterkaitan bio fisik dan kelembagaan yang berlangsung di daerah-daerah hulu, tengah dan hilir suatu DAS. Dengan kata lain, pengelolaan DAS perlu mempertimbangkan aspek-aspek social,ekonomi,kelembagaan dan sumber daya yang beroperasi di dalam dan diluar daerah aliran sungai bersangkutan. Keberhasilan pengelolaan DAS erat kaitannya dengan terpenuhinya persyaratan-persyaratan yang diperlukan dalam perencanaan pengelolaan DAS.

Permasalahan Insitusi dalam Pengelolaan DAS

Menurut hariadi dkk dalam Asdak (2004), bahwa upaya otptimasi atau penataan insitusi formal maupun insitusi informal masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS merupakan hal yang krusial dan harus memperoleh perhatian khusus. Diperlukan upaya penataan insitusi dalam pengelolaan DAS terutama disebabkan oleh munculnya beragam permasalahan yang mendesak untuk segera diselesaikan. Adapun masalah-masalah tersebut adalah:

  1. Pengelolaan DAS dan konservasi tanah merupakan satu kesatuan, dimana di dalamnya terlibat berbagai unsure insitusi formal, baik insitusi pemerintah maupun non pemerintah. Kemampuan aparat masih sangat terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
  2. Perencanaan Pengelolaan DAS dan konservasi tanah dikembangkan masih belum sepenuhnya diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah dan belum banyak melibatkan peran serta masyarakat melalui pendekatan partisipatif dalam mengelola lahan yang sesuai dengan kemampuan dan kesesuaiannya.
  3. Adanya keterbatasan sarana dan prasarana social ekonomi pemerintah maupun non pemerintah, mengakibatkan terjadinya pembatasan akses masyarakat terhadap penguasaan teknologi, informasi, komunikasi, permodalan, bahan baku maupun pasar produksi.
  4. Adanya keterbatasan peran organisasi dan insitusi social ekonomi pemerintah dan non pemerintah mengakibatkan situasi kurang kondusif bagi peningkatan produktifitas yang diperlukan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus melestarikan lingkungan
  5. Kehidupan ekonomi yang bersifat subsistem sehingga masyarakat kurang responsive
  6. Infrastruktur fisik dan social di wilayah hulu relative lebih buruk bila dibandingkankan daerah hilir
  7. Keterbatasan pemilikan lahan pertanian menyebabkan lahan yang digarap masyarakat tidak dapat dijadikan tumpuan atau penopang hidup masyarakat

Perubahan lingkungan fisik DAS yang cenderung semakin buruk dipahami sevagai gejala dan bukan sebagai masalah. Masalah yang sebenarnya adalah terjadinya perubahan system kemasyarakatn (berdasarkan insitusi bukan fisik DAS-nya) sehingga DAS sebagai system pendukung kehidupan tidak lagi dapat lagi mendukung tatanan kemasyarakatan tersebut. Dengan demikian penyelesaian masalah DAS sebenarnya dapat dicapai demgan menata kembali system kemasyarakatan melalui penataan insitusi (aturan main dan organisasi)di dalam DAS

Peran Insitusi BP DAS dalam Pengelolaan DAS

Kompleksitas masalah di dalam pengelolaan DAS sangat banyak dan memerlukan kajian multidisplin untuk menyelesaikannya. Peran insitusi dalam pengelolaan DAS yang merupakan cermin dari perilaku stakeholders sangat berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan DAS. Insitusi merupakan suatu system yang kompleks, rumit dan abstrak yang mencakup ideologi, hokum, adapt istiadat, aturan dan kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan.

BP DAS sebagai salah satu insitusi yang menangani masalah DAS memiliki tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) sebagai berikut:

Tugas Pokok BP DAS

  1. Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS
  2. Penyusunan dan Penyajian Informasi DAS
  3. Evaluasi DAS

Adapun fungsinya adalah:

  1. Penyusunan Rencana pengelolaan DAS
  2. Penyusunan dan penyajian informasi DAS
  3. Pengembangan Model Pengelolaan DAS
  4. Pengembangan Kelembagaandan Kemitraan Pengelolaan DAS
  5. Pemantauan dan Evaluasi Pengelolaan DAS
  6. Pelaksanaan Urusan Tata Usaha dan Rumah Tangga Balai

Sebagai instansi pemerintah BP DAS harus menjadi regulator, fasilitator dan supervisor pengelolaan DAS yang handal dalam satu wilayah pengelolaan DAS. Hal ini dapat tercapai apabila BP DAS mampu mendorong dan mengembangkan manajemen DAS yang efesien dan efektif, Meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan DAS serta mengembangkan kerjasama dalam jaringan informasi dengan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan DAS.

Penutup

Dalam mewujudkan pengelolaan DAS yang bersinergi dan berkelanjutan maka perlu dilakukan beberapa pendekatan analisis pengelolaan DAS dengan memperhatikan hal-hal berikut:

1. Pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi erat berkaitan

2. Pengelolaan DAS sebagai system perencanaan pengelolaan dan sebagai alat implementasi program pengelolaan DAS melalui kelembagaan relevan dan terkait.

3. Pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing-masing berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik

4. Mengingat banyak insitusi yang berkepentingan dalam pengelolaan DAS, maka perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu melalui suatu Forum DAS.

5. Pelibatan masyarakat secara partisispatif dalam proses perencanaan pengelolaan DAS harus dijadikan bagian tidak terpisahkan dalam melahirkan kebijakan pengelolaan DAS



BAHAN BACAAN

Asdak, Chay.,2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Yogyakarta.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 52 Tahun 2001 Tentang Pedoman Pengyelenggaraan Pengeloaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Departemen Kehutanan, Jakarta

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air . Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta.